Halaman

Minggu, 28 April 2013

makalah perkembangan pemikiran islam "islam liberal"


PERTUMBUHAN PEMIKIRAN ISLAM MUTAAKHIR
ISLAM LIBERAL
D
I
S
U
S
U
N
OLEH KELOMPOK VI :
PUTRI KHAIRANI
SURYA YASTUTI
OSALIKA WILSA SILVANA
PANGGANA HASIBUAN
PEBRIANTA P.A

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcT9gKXdR-SszKGEXyuvSw9SbeZY2qiF8-H1eQaVkNJaQo88GPRVYQ

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2012/2013


BAB I
PENDAHULUAN
Komunitas macam apa sebenarnya JIL ini? Mengapa sampai ada kelompok lain yang menyerukan kematiannya? Setarakah “bahaya Islam Liberal” dengan jargon “bahaya narkoba” atau “bahaya laten komunis” yang pelakunya juga kerap diganjar hukuman mati? GATRA pernah dua kali menggali tuntas komunitas ini: Laporan Khusus Islam “Liberal Hadang Fundamentalisme” (8 Desember 2001) dan Laporan Utama “Fatwa Mati Islam Liberal” (21 Desember 2002). Anggapan dan ancaman terhadap JIL itu agaknya berlebihan.
Kemunculan JIL berawal dari kongko-kongko antara Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001. Tempat ini kemudian menjadi markas JIL. Para pemikir muda lain, seperti Lutfi Asyyaukani, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, dan Saiful Mujani, menyusul bergabung.
Tujuan utamanya: menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya. “Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik,” tulis situs islamlib.com. Lebih jauh tentang gagasan JIL lihat: Manifesto Jaringan Islam Liberal.
JIL mendaftar 28 kontributor domestik dan luar negeri sebagai “juru kampanye” Islam liberal. Mulai Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Masdar F. Mas’udi, sampai Komaruddin Hidayat. Di antara kontributor mancanegaranya: Asghar Ali Engineer (India), Abdullahi Ahmed an-Na’im (Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Abdallah Laroui (Maroko).
Jaringan ini menyediakan pentas –berupa koran, radio, buku, booklet, dan website– bagi kontributor untuk mengungkapkan pandangannya pada publik. Kegiatan pertamanya: diskusi maya (milis). Lalu sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi rubrik Kajian Utan Kayu di Jawa Pos Minggu, yang juga dimuat 40-an koran segrup. Isinya artikel dan wawancara seputar perspektif Islam liberal.
Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para kontributornya, lewat radio 68H dan 15 radio jaringannya. Tema kajiannya berada dalam lingkup agama dan demokrasi. Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, keadilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.
Dalam situs islamlib.com dinyatakan, lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya “ekstremisme” dan “fundamentalisme” agama di Indonesia. Seperti munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi “Islam militan”, serta penggunaan istilah “jihad” sebagai dalil kekerasan.
JIL tak hanya terang-terangan menetapkan musuh pemikirannya, juga lugas mengungkapkan ide-ide “gila”-nya. Gaya kampanyenya menggebrak, menyalak-nyalak, dan provokatif. Akumulasi gaya ini memuncak pada artikel kontroversial Ulil di Kompas yang dituding FUUI telah menghina lima pihak sekaligus: Allah, Nabi Muhammad, Islam, ulama, dan umat Islam. “Tulisan saya sengaja provokatif, karena saya berhadapan dengan audiens yang juga provokatif,” kata Ulil.



BAB II
PEMBAHASAN
  1. PENGERTIAN
“Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur. Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu ‘Islam liberal’.” ( Asaf ‘Ali Asghar Fyzee [India, 1899-1981] ).
PERKENALAN istilah “Islam liberal” di Tanah Air terbantu oleh peredaran buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder dan Liberal Islam: A Source Book (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Terjemahan buku Kurzman diterbitkan Paramadina Jakarta, Juni 2001. Versi Indonesia buku Binder dicetak Pustaka Pelajar Yogyakarta, November 2001.
Sebelum itu, Paramadina menerjemahkan disertasi Greg Barton di Universitas Monash, berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, April 1999. Namun, dari ketiga buku ini, tampaknya buku Kurzman yang paling serius melacak akar, membuat peta, dan menyusun alat ukur Islam liberal. Para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) juga lebih sering merujuk karya Kurzman ketimbang yang lain.
Kurzman sendiri meminjam istilah itu dari Asaf ‘Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India. Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah “Islam liberal” dan “Islam Protestan” untuk merujuk kecenderungan tertentu dalam Islam. Yakni Islam yang non ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi masa depan, bukan masa silam.
“Liberal” dalam istilah itu, menurut Luthfi Assyaukanie, ideolog JIL, harus dibedakan dengan liberalisme Barat. Istilah tersebut hanya nomenklatur (tata kata) untuk memudahkan merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. Dalam pengertian ini, “Islam liberal” bukan hal baru. “Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam dimulai,” tulis Luthfi.
Periode liberasi itu oleh Albert Hourani (1983) disebut dengan “liberal age” (1798-1939). “Liberal” di sana bermakna ganda. Satu sisi berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme yang saat itu menguasai hampir seluruh dunia Islam. Sisi lain berarti liberasi kaum muslim dari cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan.
Luthfi menunjuk Muhammad Abduh (1849-1905) sebagai figur penting gerakan libaral pada awal abad ke-19. Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, menyetarakan Abduh dengan Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Seperti Hegel, Abduh melahirkan murid-murid yang terbagi dalam dua sayap besar: kanan (konservatif) dan kiri (liberal).
Ada dua kelompok yang dikategorikan “musuh” utama Islam liberal. Pertama, konservatisme yang telah ada sejak gerakan liberalisme Islam pertama kali muncul. Kedua, fundamentalisme yang muncul akibat pergesekan Islam dan politik setelah negara-negara muslim meraih kemerdekaannya.
Bila Luthfi mengembalikan semangat liberal pada abad ke-19, aktivis JIL yang lain, Ahmad Sahal, menariknya pada periode sahabat. Rujukannya Umar bin Khattab. Dialah figur yang kerap melakukan terobosan ijtihad. Umar beberapa kali meninggalkan makna tekstual Al-Quran demi kemaslahatan substansial. Munawir Sjadzali juga kerap merujukkan pikirannya kepada Umar ketika memperjuangkan kesetaraan hak waris anak laki-laki dan perempuan.
Umar menjadi inspirator berkembangnya mazhab rasional dalam bidang fikih yang dkenal sebagai madrasatu ra’yi. Dengan demikian, Sahal menyimpulkan, Islam liberal memiliki genealogi yang kukuh dalam Islam. Akhirnya, Islam liberal adalah juga anak kandung yang sah dari Islam.
Jaringan Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan beberapa landasan khusus. Jaringan Islam Liberal juga bisa diartikan sebagai forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Forum ini bersekretariat di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad.

2.      LATAR BELAKANG

Jaringan Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan beberapa landasan khusus. Jaringan Islam Liberal juga bisa diartikan sebagai forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Forum ini bersekretariat di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad.
Maraknya JIL dimasa reformasi bersamaan dengan keinginan kuat umat Islam
untuk menerapkan Syari'at Islam bukanlah suatu kebetulan, sepertinya JIL ini dibentuk untuk menghadang kelompok "Fundamentalis" yang ingin kembali kepada Islam secara Kaffah. Berikut ini mari kita coba telah lebih jauh apa itu JIL, tujuannya dan ide-ide yang diusungnya.
JIL yakni sebuah kelompok dikomandoi oleh Ulil Absar Abdalla, seorang
yang dikenal sangat dekat dengan NU dan menantu seorang Kiai NU. Selain
Ulil, kontributor JIL yang lain adalah:

·         Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta.
·         Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakart.
·         Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat,
Jakarta.
·         Goenawan Mohamad, Majalah Tempo, Jakarta.
·         Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
·         Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
·         Moeslim Abdurrahman, Jakarta.
·         Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
·         Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta , dll.
Istilah Islam liberal ini bukanlah hal yang baru dan telah diusung oleh
Nurcholis Madjid pada tahun 70-an, hanya saja gaungnya sekarang lebih
besar karena mereka didukung dana yang sangat besar dari luar negeri dan
mereka menguasai jaringan media massa (Radio, Jawa Pos, Kompas, Tempo,
Metro TV, dll.).
  1. POKOK-POKOK PEMIKIRAN
Menurut JIL, nama "Islam liberal" menggambarkan prinsip-prinsip yang
menekankan kebebasan pribadi (seusai dengan doktrin kaum Mu'tazilah
tentang kebebasan manusia), dan "pembebasan" struktur sosial-politik
dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Sederhananya JIL ingin
mengatakan bahwa secara pribadi bebas (liberal) menafsirkan Islam sesuai
hawa nafsunya dan membebaskan (liberal) negara dari intervensi agama
(sekuler).
Unik memang, pada saat seseorang telah menyatakan menganut Islam maka ia
terikat dengan hukum syara' atau ia seorang mukhallaf dan ia tidak bebas
lagi (liberal) karena ucapan dan perilakunya telah dibatasi oleh
syari'at. Disisi lain bagaimana mungkin bisa menggabungkan antara Islam
dan Liberal karena keduanya adalah ideologi yang saling bertentangan.
Islam meyakini bahwa Syari'at Allah harus dijalankan diseluruh sisi
kehidupan, sedangkan Liberal meyakini pemisahan urusan agama dan negara.
Kelompok ini bertujuan ingin membuat suatu bentuk penafsiran baru atas
agama Islam dengan wawasan sebagai berikut :
  1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Kami percaya, ijtihad (penalaran rasional atas teks-teks keislaman) adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam, sebab Islam akan mengalami pembusukan. Kami percaya ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat (teologi).
  1. Mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang kami kembangkan berdasarkan semangat religio-etik Quran dan Sunnah Nabi, bukan semata makna literal teks. Penafsiran literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian peradaban kemanusiaan universal.
  1. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Kami mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung konteks tertentu; terbuka, sebab setiap penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran adalah cermin kebutuhan penafsir pada masa dan ruang yang terus berubah.
  1. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Kami berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kaum minoritas tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas minoritas berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas dipahami dalam makna luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, dan ekonomi.
  1. Meyakini kebebasan beragama.
Kami yakin, urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Kami tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar pendapat atau kepercayaan.
  1. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Kami yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.

Baiknya coba kita permudah pembahasan ide-ide JIL ini dalam 3 topik
saja, yakni :
1.      Ijtihad : keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang.
2.      Inklusifisme: kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
3.      Sekuler: pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
1)      Ijtihad
JIL meyakini bahwa pintu ijtihad masih terbuka dalam semua bidang dan
untuk semua orang, penutupan pintu ijtihad akan menutup pintu akal dan
kreatifitas seseorang.
Pintu ijtihad memang masih terbuka hingga saat ini tetapi para ulama
telah memberikan batasan dalam hal apa saja boleh berijtihad dan syarat
seseorang mampu mengeluarkan ijtihad (mujtahid).
Setiap orang boleh saja berijtihad tetapi ulama memberikan syarat-syarat
seorang mujtahid, antara lain :
  1. Pengetahuan bahasa Arab, lafadz dan susunan (tarkib) yang
    berhubungan dengan dalil-dalil hukum yang akan digali (istimbath).
  2. Pengetahuan terhadap syara' yakni nash (dalil) dari Al-Quran dan
    Sunnah.
  3. Pengetahuan terhadap waqi' yang akan dihukumi
Bahkan DR Yusuf Qaradhawi (Masalah-masalah Islam kontemporer) memberikan syarat yang lebih berat semisal pengetahuan bahasa Arab, mengetahui
tempat-tempat ijma' yang tepat, ushul fiqih, qiyas dan penyimpulan,
kaidah-kaidah syara'. Syarat lain harus adil, bertaqwa, tidak mengikuti
hawa nafsu atau menjual agamanya untuk kehidupan dunia. Dengan demikian menurut Yusuf Qaradhawi, ijtihad bukan pintu yang terbuka bagi semua orang.
Disisi lain pintu ijtihad tertutup untuk nash-nash (dalil) qath'i tsubut
(sudah pasti dari segi wujud) dan qath'i dilalah (sudah pasti dari segi
petunjuk). Seperti dalil-dalil berikut :
Orang perempuan dan laki-laki yang berzina jilidlah masing-masing dari
keduanya seratus kali jilid (An Nur 2).Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah (Al Maaidah 38).
Atau kewajiban shalat, puasa, haji, adanya malaikat, syaithan, lauhul
mahfuz, akhirat, dll. disini akal tidak mampu lagi menjangkaunya dan
kita wajib mengimaninya sesuai dengan penjelesan Al-Quran dan sunnah.
Masalah terbukanya pintu ijtihad ini merupakan gerbang utama bagi JIL
untuk menghancurkan syari'at Islam, karena jika berhasil meyakinkan umat
bahwa ijtihad masih terbuka untuk semua bidang dan setiap orang maka
mereka dapat menafsirkan ayat-ayat Allah dan hadits sesuai hawa nafsu
mereka. Seperti yang sempat dihebohkan beberapa waktu yang lalu tentang
"Jilbab tidak wajib dan merupakan kebudayaan Arab"; "Laki-laki non-muslim boleh mengawini muslimah"; "Kebebasan beragama atau murtad".
2)      Inklusifisme.
Inklusifisme secara ringkas dapat diartikan tidak eksklusif atau tidak
merasa paling benar sendiri, dalam bahasa JIL bahwa agama itu seperti
roda yang mempunyai jari-jari. Setiap agama adalah jari-jari dari roda
tersebut, jika semua pemeluk agama (apapun agamanya) dan dia berbuat
saleh maka semuanya akan menuju kesatu titik poros roda tersebut yakni
syurga. Artinya, seorang Muslim, Nasrani, Hindu, Budha atau Konghucu,
bila menjalankan agama dengan benar (saleh) maka semuanya akan masuk
syurga. Hal ini jelas bertentangan dengan aqidah Islam, Innaddiina'indallahil
Islami.
“Sesungguhnya dien (agama/sistem hidup) yang diridhai Allah adalah Islam
(Ali Imran 19)”.
“Barangsiapa yang mengambil selain Islam sebagai dien, tidak akan
diterima apapun darinya dan ia diakhirat tergolong orang yang rugi (Ali
Imran 85)”.
Dengan konsep yang menyesatkan ini, maka umat akan dengan mudah murtad
karena mereka merasa dengan memeluk selain Islam-pun mereka akan masuk
syurga juga.
3)      Sekuler
Menurut JIL, Islam tidak mengenal pemerintahan dan agama tidak mempunyai kewenangan dalam mengatur negara.  Jika kita ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam semua sector kehidupan kita maka mau tidak mau harus memformalkan syari'at Allah swt yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah dalam bentuk Undang-undang (UU), dan sebuah UU tidak akan berjalan jika tidak dipayungi oleh sebuah pemerintahan (daulah). Hal ini-pun telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan khalifah-khalifah sesudah beliau.
Banyak dalil-dalil yang mewajibkan terbentuknya sebuah Khilafah
Islamiyah ini.
Bila dibai'at dua orang Khalifah (pada waktu yang sama), maka perangilah
orang yang kedua (Al-Hadist).
Dan kita sangat merindukan tegaknya kembali kekhilafahan Islam ini
setelah vakum selama 79 tahun, disaat runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di
Turki tahun 1924 M.
Demikianlah sepak terjang JIL dengan aqidah sesatnya dan menyesatkan
umat, dan merupakan tantangan bagi para hamilud dakwah untuk lebih
intensif berinteraksi dengan umat untuk mensosialisasikan betapa
pentingnya tegaknya syari'at Islam.

 

4.   BAHAYA ISLAM LIBERAL


Islam adalah dien al-haq yang diwahyukan oleh Allah ta'ala kepada Rasul-Nya yang terakhir Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam:
'Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.' (QS. 48: 28)
Diantara firqah halikah adalah firqah Liberaliyah. Liberaliyah adalah sebuah paham yang berkembang di Barat dan memiliki asumsi, teori dan pandangan hidup yang berbeda.



Bahaya Firqah Liberal
  1. Mereka tidak menyuarakan Islam yang diridhai oleh Allah.
  2. Mereka lebih menyukai atribut-atribut fasik dari pada gelar-gelar keimanan
    'Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman'. (QS. Al-Hujurat 11).
  3. Mereka beriman kepada sebagian kandungan al-Qur an dan meragukan kemudian menolak sebagian yang lain, supaya penolakan mereka terkesan sopan dan ilmiyah mereka menciptakan jalan baru dalam menafsiri al-Qur an. Mereka menyebutnya dengan Tafsir Kontekstual, Tafsir Hermeneutik, Tafsir Kritis dan Tafsir Liberal.
  4. Mereka menolak paradigma keilmuwan dan syarat-syarat ijtihad yang ada dalam Islam.
  5. Mereka tidak mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi sahallallahu alaihi wa sallam, para sahabatnya dan seluruh orang-orang mukmin.
'Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.' (QS. An-Nisaa 115).
  1. Mereka tidak memiliki ulama dan tidak percaya kepada ilmu ulama.
 Mereka lebih percaya kepada nafsunya sendiri, sebab mereka mengaku sebagai pembaharu bahkan super pembaharu yaitu neo modernis. Allah berfirman:
Dan bila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,' mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.' Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka, 'Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman,' mereka menjawab, 'Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman.' Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS. Al-Baqarah 11-13).
  1. Kesamaan cita-cita mereka dengan cita-cita Amerika, yaitu menjadikan Turki sebagai model bagi seluruh negara Islam. Prof. Dr. John L. Esposito menegaskan bahwa Amerika tidak akan rela sebelum seluruh negara-negara Islam tampil seperti Turki.
  2. Mereka memecah belah umat Islam karena gagasan mereka adalah bid ah dan setiap bid ah pasti memecah belah.
  3. Mereka memiliki basis pendidikan yang banyak melahirkan pemikir-pemikir liberal, memiliki media yang cukup dan jaringan internasional dan dana yang cukup.







BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan permurnian, kembali kepada al-Quran dan sunnah. Pada saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan pcnduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syiah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wachid. (Adiyan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton. Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama.[3][2]
PERKENALAN istilah “Islam liberal” di Tanah Air terbantu oleh peredaran buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder dan Liberal Islam: A Source Book (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Terjemahan buku Kurzman diterbitkan Paramadina Jakarta, Juni 2001. Versi Indonesia buku Binder dicetak Pustaka Pelajar Yogyakarta, November 2001.
DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar