BAB
I
PENDAHULUAN
Kecenderungan
beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing pada saat ini, umumnya
dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan efesiensi biaya
produksi (cost of production). Dengan
menggunakan sistem outsourcing ini,
pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber
daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan
hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing
sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 64 Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang
dibuat secara tertulis.
Di
dalam praktiknya, ketentuan tentang
penyediaan jasa pekerja yang diatur dalam peraturan di atas akhirnya
memunculkan pula istilah outsourcing,
(dalam hal ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar
perusahaan).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
MAKNA
DAN HAKIKAT PENYEDIAAN TENAGA KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING
Outsourcing
terbagi atas dua suku kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan
kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa
Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya
dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya
non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
Outsourcing
atau alih daya merupakan pemindahan pekerjaan (operasi) dari satu
perusahaan ke perusahaan lain yang dilakukan biasanya untuk memperkecil biaya
produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal utama dari perusahaan
tersebut. Sistem outsourcing memang untuk sebagian besar orang yang memiliki
keahlian atau skill terbatas dianggap sangat merugikan. Namun untuk orang yang
memiliki keahlian khusus dan langka menjadi karyawan outsourcing dianggap lebih
menguntungkan
Dalam
sistem outsourcing terdapat dua jenis
perjanjian, yaitu:
1.
Perjanjian kerja,
antara A dengan perusahaan X.
2.
Perjanjian penempatan
A, antara perusahaan X dan perusahaan Y.
Beberapa
praktisi hukum ketenagakerjaan sebenarnya banyak yang mengkritik sistem outsourcing ini, karena secara legal
formal perusahaan pemberi kerja tidak bertanggung jawab secara langsung
terhadap pemenuhan hak-hak karyawan yang bersangkutan.
Oleh
karena itu, dalam rangka melindungi karyawan yang ditempatkan tersebut
ditentukan beberapa syarat untuk meminimalisasi dampak negatif dari sistem outsourcing ini.
Syarat-syarat
tersebut wajib dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa pekerja maupun perusahaan
pemberi kerja, agar buruh/pekerja ynag bersangkutan tetap terlindungi
hak-haknya dan tidak mengalami eksploitasi secara berlebihan.
Syarat-syarat
yang wajib dipenuhi adalah sebagai berikut:
1.
Perusahaan penyedia
jasa pekerja merupakan bentuk usaha berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi
yang berwenang.
2.
Pekerja/karyawan yang
ditempatkan tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok yang
berhubungan langsung dengan proses produksi.
3.
Adanya hubungan kerja
yang jelas antara pekerj/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja,
sehingga pekerja yang ditempatkan tersebut mendapatkan perlindungan kerja yang
optimal sesuai standar minimum ketenagakerjaan.
4.
Hubungan kerja harus
dituangkan dalam perjanjian secara tertulis (dua perjanjian sebagaimana yang
disebutkan di atas), yang memuat seluruh hak dan kewajiban para pihak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
B.
PELAKSANAAN
OUTSOURCING DALAM PERSPEKTIF HUKUM
KETENAGAKERJAAN
Perkembangan
ekonomi global dan kemajuan teknologi yang dermikian cepat membawa dampak
timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lini.
Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan
dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam
meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan
struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali
manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih
efektif, efisien, dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa
kalau kemudian muncul kecenderungan outsourcing,
yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang
tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut
perusahaan penerima pekerja.
Praktik
sehari-hari outsourcing selama ini
diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam
bentuk tidak tetap/kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu), upah lebih
rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan
pengembangan karir dan lain-lain. Dengan demikian memang benar kalau dalam
keadaan seperti itu dikatakan praktik outsourcing
akan menyengsarakan pekerja/buruh dan kaburnya hubungan industrial.
Hal
tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam
melaksanakan outsourcing. Kalaupun
ada, barangkali Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-100/MEN/VI/2004 tentang
ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang hanya merupakan
salah satu aspek dari outsourcing.
Walaupun
diakui bahwa pengaturan outsourcing
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum dapat
menjawab semua permasalahan outsourcing
yang begitu luas dan kompleks. Namun, setidak-tidaknya dapat memberikan
perlindungan hukum terhadap perkerja/buruh terutama yang menyangkut
syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja
lainnya dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.
Praktik
outsourcing dalam Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan
persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:
1.
Perjanjian pemborongan
pekerjaan dibuat secara tertulis.
2.
Bagian pekerjaan yang
dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi
syarat-syarat:
a. Apabila
bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan
utama.
b. Bagian
pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi
secara langsung, dan
c. Dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
Semua
persyaratan di atas, bersifat kumulatif sehingga apabila salah-satu syarat
tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat do-outsourcingkan. Perusahaan penerima
pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak
perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi
kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga
pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu, berbadan hukum menjadi sangat
penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan penerima
pekerjaan, demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan.
Perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja
sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja. Hal
ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik di
perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerja karena pada hakikatnya
bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat
kerja, upah dan perlindungan kerja yang lebih rendah.
Hubungan
kerja yang terjadi pada outsourcing
adalah antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan dan dituangkan
dalam perjanjian kerja secara tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya
perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik
formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam pasal 59 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk
perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak, apalagi akan sangat keliru kalau ada
yang beranggapan bahwa outsourcing
selalu dan/atau sama dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Dalam
penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh
mempekerjakan pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk
melaksanakan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan dengan
produksi. Kegiatan dimaksud antara lain usaha pelayanan kebersihan, usaha
penyedia makanan bagi pekerja/buruh.
C.
PERLINDUNGAN
BURUH
Pengaturan
outsourcing bila dilihat dari segi
hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan
memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh. Dengan demikian, adanya anggapan
bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu
menggunakan perjanjian kerja/kontrak, sehingga mengaburkan hubungan industrial
adalah tidak benar. Pelaksanaan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam pasal 65 ayat (6) dan
(7) dan pasal 66 ayat (2) dan (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Memang pada keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefenisikan
atau menentukan jenis pekerjaan yang dikategorikan penunjang.
Untuk
mengurangi timbulnya kerancuan, dapat pula dilakukan dengan membuat dan
menetapkan skema proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat
ditentukan pekerjaan pokok/utama; itu diluar itu berarti pekerjaan penunjang.
D.
PENYERAHAN
SEBAGIAN PEKERJAAN (OUTSOURCING)
Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan peluang kepada perusahaan
untuk dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan di dalam perusahaan
kepada perusahaan lainnya melalui:
1.
Pemborongan pekerjaan
atau
2.
Perusahaan penyedia
jasa pekerja (PPJP)
Dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kedua bentuk kegiatan
dimaksud dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat dimaksud antara lain ditentukannya dengan wajib dilaksanakan
melalui perjanjian ynag dibuat secara tertulis. Adapun perusahaan penerima
pekerjaan tersebut harus berbentuk badan hukum. Untuk perusahaan penyedia jasa
pekerja, dipersyaratkan pula selain harus berbadan hukum, juga terdaftar pada
instansi ketenagakerjaan.
1.
Pemborongan
Pekerjaan
Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui
pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dilakukan dengan
perusahaan yang berbadan hukum, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Dilakukan secara
terpisah dari kegiatan utama.
b.
Dilakukan dengan
perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
c.
Merupakan kegiatan
penunjang perusahaan secara keseluruhan.
d.
Tidak menghambat proses
produksi secara langsung.
Hal
yang perlu diperhatikan dalam kegiatan adalah adanya ketentuan bahwa
perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan
penerima kerja, sekurang-kurang sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Penyedia
Jasa
Pengusaha
yang memasok penyediaan tenaga kerja kepada perusahaan pemberi kerja untuk
melakukan pekerjaan dibawah perintah langsung dari perusahaan pemberi kerja,
disebut perusahaan penyedia jaasa pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja
wajib berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan. Apabila
tidak dipenuhi ketentuan sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja, demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja,
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan proyek atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali unutk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Perusahaan
penyedia jasa pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi dipersyaratkan:
a.
Adanya hubungan kerja
antara pekerrja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja.
b.
Perjanjian kerja dapat
berupa perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tak tertentu
yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
c.
Perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
d.
Perjanjian antara
perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, dibuat
secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang N0. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perusahaan
penyedia jasa pekerja yang memperoleh pekerjaan, dari perusahaan pemberi
pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang
sekurang-kurangnya memuat:
a.
Jenis pekerjaan yang
akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja.
b.
Penegasan bahwa dalam
melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan
penyedia jasa pekerja dengan pekerja yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa
pekerja, sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja.
c.
Penegasan bahwa
perusahaan penyedia jasa pekerja bersedia menerima pekerja dari perusahaan
penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus
ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan
penyedia jasa pekerja.
E.
PELUANG
DAN TANTANGAN
1.
Peluang
Dengan
cara menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada pihak ketiga, berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
sebagaimana diutarakan diatas, dalam menjalankan usahanya memberi peluang
kepada para pengusaha untuk melakukan efisiensi dan dapat terhindar dari
resiko/ekonomis seperti perselisihan/PHK, jaminan sosial, dan kesejahteraan
lainnya.
Dengan
menyerahkan sebagaian pekerjaan di perusahaan kepada pihak ketiga, melalui
suatu hubungan hukum antara dua perusahaan yang masing-masing berbadan hukum,
bagi perusahaan yang dapat melaksanakan peluang itu secara baik dan benar, akan
dapat tertolong dari resiko perburuhan, seperti perselisihan/PHK yang tidak
jarang menyita waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit. Untuk itu pengusaha
perlu mengetahui dan mengatasi segala bentuk penyimpangan yang dapat terjadi,
agar dalam pelaksanaannya tidak sampai mengganggu kelancaran perusahaan atau
merugikan perusahaan.
2.
Tantangan
Tantangan
pertama dalam pelaksanaan penyerahan
sebagai pekerjaan kepada pihak ketiga ini adalah menentukan pekerjaan apa saja
yang merupakan pekerjaan pokok, yang tidak dapat dilakukan secara terpisah dari
kegiatan utama atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Untuk itu perlu disusun suatu daftar pekerjaan yang menjadi pekerjaan utama dan
yang bersifat terus menerus di dalam perusahaan. Apabila ini sulit, dilakukan
hal yang sebaliknya, yaitu dengan membut daftar pekerjaan yang bukan pokok dan/
atau dilakukan tidak terus menerus di dalam perusahaan. Memang untuk pertama kali
mungkin hal ini tidak mudah dikerjakan, tetapi apabila cara ini dapat
diselesaikan dengan baik, kedepan akan sangat membantu perusahaan dalam
melakukan penyerahan pekerjan kepada pihak ketiga.
Dalam
praktiknya sulit menentukan mana yang merupakan pekerjaan pokok, atau kegiatan
ynag berhubungan langsung dengan proses produksi, dan mana yang bukan. Unutk
itu disusunlah daftar pekerjaan utama dan yang bersifat terus menerus, atau
yang sebaliknya.
Untuk
membantu kita dalam membuat daftar dimaksud, Undang-Undang No. 13 Tahun 3003
tentang Ketenagakerjaan telah memberi contoh tentang kegitaan jasa penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, antara
lain:
a.
Usaha pelayanan
kebersihan.
b.
Usaha penyediaan
makanan bagi pekerja.
c.
Usaha tenaga pengaman.
d.
Usaha jasa penunjang
dipertambangan dan perminyakan, serta
e.
Usaha penyediaan
angkutan pekerja/buruh.
Untuk
lebih mengamankan posisi perusahaan, pekerjaan itu diserahkan kepada koperasi
pekerja/buruh yang telah berbadan hukum. Dengan melakukan langkah ini
perusahaan akan mendapat perlindungan ganda dari para pekerja.
Pertama, dengan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada koperasi pekerja/buruh, mereka tentunya
mendukung langkah yang dilakukan pengusaha, sehingga perusahaan aman
melaksanakannya. Kedua, mereka ikut menikmati kebijakan perusahaan tersebut
dengan memperoleh kesejahteraan melalui koperasi pekerja/buruh.
Hal
berikutnya yang harus diperhatikan dalam penyerahan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain, adalah dilakukan melalui suatu perjanjian tertulis. Khususnya
dalam membuat perjanjian dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, ditentukan
sekurang-kurangnya perjanjian tersebut memuat:
a.
Jenis pekerjaan yang
akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa.
b.
Penegasan bahwa dalam
melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan
penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa
sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja
c.
Penegasan bahwa
perusahaan penyedia jasa pekerja, bersedia menerima pekerja dari perusahaan
penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus
ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal ini terjadi penggantian perusahaan
penyedia jasa pekerja.
Perjanjian
dimaksud, didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan sesuai dengan wilayah berlakunya perjanjian dimaksud.
Resiko
yang akan dihadapi oleh perusahaan apabila ketentuan sebagai hukum, tidak
dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan/atau tidak dibuatnya perjanjian secara tertulis,
demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima
pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan, yang dapat berupa waktu tertentu atau untuk waktu tidak
tertentu, sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan
pekerja/buruh.
Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 menetapkan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi harus syarat sebagai berikut:
a.
Hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja.
b.
Perjanjian kerja yang
berlaku antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja adalah
perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani
oleh kedua belah pihak.
c.
Perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihannya menjadi tanggung
jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
d.
Perjanjian antara
perusahaan pengguna jasa pekerja dengan perusahaan peyedia jasa pekerja dibuat
secara tertulis dan wajib memuat ketentuan dalam Undang-undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
Akibat
hukum dari pelanggaran ketentuan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu adalah
apabila:
a.
Dibuat tidak dalam
Bahasa Indonesia dan huruf latin, berubah menjadi perjanjian kerja waktu tak
tertentu sejak adanya hubungan kerja.
b.
Dibuat tidak memenuhi
ketentuan, perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja
waktu tak tertentu sejak adanya hubungan kerja.
c.
Dilakukan untuk
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan,
berubah menjadi perjanjian kerja waktu tak tertentu sejak dilakukan
penyimpangan.
d.
Dalam hal pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu tidak melalui tenggang waktu 30 hari setelah
berakhirmya perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu dan tidak
diperjanjikan lain, berubah menjadi perjanjian kerja waktu tak tertentu sejak
tidak terpenuhinya syarat perjanjian kerja waktu tertentu tersebut.
3.
KELEBIHAN
DAN KEKURANGAN
- Memudahkan calon karyawan fresh graduate untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan sistem outsourcing mereka tidak perlu bersusah payah memasukkan lamaran pekerjaan ke banyak perusahaan karena justru perusahaan outsourcing yang akan menyalurkan mereka.
- Mendapat pelatihan memadai dari perusahaan penyedia jasa karyawan outsourcing. Sebelum ditempatkan di perusahaan para pencari kerja tentunya harus mendapat pelatihan sehingga pengalaman tentang dunia kerja menjadi bertambah.
- Memudahkan pencari kerja yang memiliki keahlian khusus memilih perusahaan yang akan mempekerjakan mereka nanti sekaligus menentukan gaji yang akan mereka dapatkan karena para pencari kerja dengan keahlian khusus seperti ini tentunya jarang sehingga menjadi rebutan perusahaan-perusahaan besar.
- Masa kerja yang tidak jelas karena sistem kontrak. Sebagian besar karyawan outsourcing khawatir jika ada PHK maka tidak mudah mendapatkan pekerjaan kembali.
- Tidak ada jenjang karir. Karena sistem outsourcing memberlakukan kontrak mengakibatkan karyawan susah memegang jabatan tinggi.
- Tidak mendapat tunjangan. Sebagian besar perusahaan outsourcing tidak memberikan tunjangan seperti THR, asuransi dan jaminan hari tua untuk karyawan outsourcing.
- Pemotongan penghasilan karyawan outsourcing yang tidak jelas. Rata-rata gaji yang dipotong untuk karyawan outsourcing berkisar dia angka 30 persen dari seharusnya yang mereka terima seandainya menjadi karyawan tetap di perusahaan mereka saat ini bekerja.
4. Kelebihan
dan
Kekurangan Outsourcing bagi
perusahaan
Kelebihan
·
Mempercepat
proses adaptasi terhadap perubahan bisnis
·
Manajemen SI yang lebih baik, SI
dikelola oleh pihak luar yang telah berpengalaman dalam bidangnya
·
Dapat mengeksploitasi skill dan
kepandaian yang berasal dari perusahaan lain dalam mengembangkan produk yang
diinginkan
·
Bagian
dari modenisasi dunia usaha
·
Meningkatkan
daya saing perusahaan dengan efisiensi penggunaan fasilitas dan teknologi
·
Memfasilitasi downsizing,
sehingga perusahaan tak perlu memikirkan pengurangan pegawai
Kekurangan
·
Ketidakpastian
status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja
·
Perbedaan
perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal
dengan karyawan outsource
·
Pengawasan
dan kontrol langsung sulit dilakukan
·
Informasi
merupakan aset berharga bagi perusahaan, jika salah pengelolaan bisa berbalik
menjadi bumeran
·
Loss of
flexibility (kontrak diatas 3 tahun),
perubahan teknologi baru tidak bisa diadaptasi dengan cepat oleh perusahaan
·
Adanya hidden
cost (biaya pencarian vendor, biaya transisi, dan biaya post outsourcing)
·
Timbulnya
ketergantungan terhadap perusahaan penyedia jasa outsourcing
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing
sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 64 Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang
dibuat secara tertulis.
Praktik
outsourcing dalam Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan
yang sangat ketat sebagai berikut:
3.
Perjanjian pemborongan
pekerjaan dibuat secara tertulis.
4.
Bagian pekerjaan yang
dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi
syarat-syarat:
d. Apabila
bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan
utama.
e. Bagian
pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi
secara langsung, dan
f. Dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Sutedi,
Adrian. 2009, Hukum Perburuhan, Sinar
Grafika, Jakarta.
makasih infonya jasa outsourcing security bali
BalasHapus